Brebes masih
kemarau. Hujan memang sudah dua hari berturut-turut turun namun sebentar-sebentar.
Sawah masih merekah, debu masih mengganggu, sungai penuh sampah dan tukang es
masih senang. Walau begitu rasanya tinggal menghitung hari musim hujan
menyelimuti bumi Brebes, menyelimuti petani yang sepertinya sekarang sedang
menggigil. Dan sebelum kemarau pergi saya akan bicarakan beberapa masalah yang tampak di mata dan mengganggu pikiran saya.
Kemarau ternyata
bukan cuma jadi masalah bagi petani, kemarau juga telah menjelaskan bahwa alam raya Brebes
khususnya tengah menghadapi masalah serius. Masalah serius ini ada di
mana-mana, di kota-kota besar seperti Jakarta telah merasaakan akibatnya dan upaya
nyata telah banyak dilakukan, semestinya lah di manapun tempat harus tanggap waskita. Masalah ini apalagi kalau bukan pengabaian terhadap kondisi alam.
Sungai-sungai di Brebes sejauh yang tampak dibiarkan dangkal dan menyempit.
Saluran-saluran air sudah banyak yang hilang, bukan saja tidak berfungsi
melainkan sudah tidak dikenali. Sungai pun tak saja dangkal dan sempit, bahkan
jadi tempat buang sampah berjamaah.
Jembatan Kali Sitanggal-Larangan-Brebes
Soal sungai dan
saluran air, kebiasaan para petani mengairi sawah dengan menyedot air tanah sepertinya jadi sebab terabaikannya sungai
sebagai sarana distribusi air. Dulu di masa saya kanak-kanak orang-orang biasanya bergotong royong di musim kemarau menggali sungai untuk menjaga kedalamannya. Lebar
sungaipun tidak terancam oleh kelakuan warga yang seperti sekarang seenaknya membuat bangunan di bantaran kali. Kini gotong-royong semacam itu tidak ada lagi, sungai dibiarkan dangkal dan penuh
sampah, warga bisa seenaknya membangun kios permanen di bantaran kali tanpa ada
aparat yang memperingatkan. Saluran air di dalam kampung lebih menyedihkan, blumbang (saluran air di sekitar rumah
tinggal) yang di jaman dulu biasa jadi tempat mancing anak-anak dan banyak ikannya
kini sudah tertutup rumah atau tinggal got
kecil.
Kengerian makin
bertambah dengan makin meningkatnya sampah plastik dari bungkus makanan yang
kemudian dibuang begitu saja di sungai-sungai. Tak cuma got yang mampat, sungai
besar pun penuh timbunan sampah. Dengan kondisi tanah terbuka yang terus
menyusut karena pembangunan rumah tinggal dan komersil, ancaman banjir harus
benar-benar dicermati. Brebes dahulu kala terkenal dengan banjirnya, walau
kini teratasi tidak tertutup kemungkinan akan ada banyak banjir lagi di wilayah
Brebes di masa mendatang.
Beberapa tahun
terakhir ada yang namanya dana desa, sejauh ini pemanfaatannya belum jelas. Penggunaan
dana desa yang tampak selama ini baru latah-latahan membagusi saluran air atau
got di jalan-jalan utama. Saluran air di sawah yang justru lebih penting karena mayoritas warga adalah petani dilupakan. Sungai besar mungkin bukan tanggungjawab desa, tapi dengan "gagap"nya
pemanfaatan dana desa mestinya tak salah jika kemudian dipakai untuk
normalisasi sungai besar yang kebetulan melintas di suatu desa.
Semoga pemerintah
daerah khususnya dan warga secara umum sadar dengan kenyataan yang ada, jangan
sampai semua baru rebut ketika bencana telah melanda. Di banyak daerah di
negeri ini bencana akibat keteledoran manusia jadi berita kesedihan nasional,
kita di sini tidak mesti aman dan terbebaskan dari malapetaka, bisa jadi azab
sudah di depan rumah kita.
Komentar
Posting Komentar