Sampai lagi di
bulan Robbiul Awwal, salah satu bulan penting bagi kaum muslimin. Inilah bulan
kelahiran Sang Penghulu ummat, bulan mauld atau bulan muludan. Pada bulan ini
dua belas hari di awal bulan sudah lazim di kampung-kampung di Brebes akan
berlangsung setiap malam acara muludan: orang-orang berkumpul di
musholla-musholla bersholawat, dibaan, membaca barjanzi dan makan-makan.
Di zaman musholla
sudah pakai toa semua, dua belas malam tentu saja ramai langit oleh puji-pujian
kepada Nabi Muhammad SAW. Umumnya pelaku muludan adalah ibu-ibu dan remaja
putri. Tentu saja ada bapak-bapak dan pemuda, yang ini satu, dua , tiga. Anak-anak?
Sepertinya anak-anak—terutama laki-laki—sulit ditemui terlibat di acara ini.
Tapi saya punya kenangan berkesan tentang muludan pada masa kanak-kanak di Desa Slatri,
Kecamatan Larangan. Saya tumbuh dan melewati masa itu di dekade 80-an. Waktu itu
saya dan anak-anak yang mengaji di madrasah yang ada di belakang Masjid Jami
Slatri Tengah (madrasah yang dempet dengan masjid ini dulu: pagi dipakai
Madrasah Ibtidaiyah, siang untuk Madrasah Diniyah dan malam untuk belajar baca
Al Quran/mengaji) pada bulan ini selama dua belas hari tidak mengaji seperti
biasa tapi muludan. Selama muludan yang bikin senang tentu saja karena ada
bagi-bagi jajanan, karena setiap hari dijadwal anak-anak bergiliran membawa
makanan.
Entah ada berapa
puluh anak yang mengaji di sana, yang jelas ruangan madrasah itu semacam aula
yang di sekat jadi empat kelas pakai kayu yang bisa digeser. Jadwal dipasang di
dinding, setiap hari ada beberapa anak dapat giliran, yang dibawa tentu saja
tidak serupa yang kemudian dioplos untuk
dibagi rata. Masih terbayang kala itu, sayang sepertinya di madrasah itu sudah
lama tidak untuk belajar mengaji lagi, karena kini banyak TPQ yang jam
belajarnya pada sore hari.
Belajar sambil
bermain, mungkin konsepnya waktu itu, anak-anak dikenalkan pada tradisi milik
orang tua dengan suasana yang menyenangkan. Jangankan pada masa itu, pada zaman
sekarang ketika jajanan sudah beraneka macam saja ketika ada bagi-bagi makanan
anak-anak berebutan, tapi seingat saya pada waktu itu tak ada aksi rebutan. Dan
sedikit bnayak saya hafal apa yang dibaca pada tiap malam muludan karena masa
kecil yang menyenangkan itu.
Muludan, semoga
tradisi ini bisa jadi sarana pengenalan bagi anak-anak. Pengenalan yang
menyenangkan pada Sang Rosul, pada kebudayaan Islam, pada tradisi yang bernilai
tinggi. Bukan sekedar kontes dua belas malam.
dari ceritanya kayaknya mas afif ini dibawah generasi 90an yaa haha, peace.. :D
BalasHapusgenerasi milenia kok
Hapus