Langsung ke konten utama

Surat Kepada Kawan: Masih Sapto Darmo-kah?

Selamat malam kawan, semoga damai selalu di manapun engkau kini berada.

Lebih dari dua puluh tahun kiranya saat terakhir kita bertemu. Pertemuan berkesan yang sepanjang waktu terus teringat dan jadi renungan, bahwa ternyata hidup ini penuh kejutan. Entah bagaimana keadaanmu sekarang, terakhir aku mendengar kabarmu sepuluh tahun lalu, ada yang bilang engkau menetap di Kota Brebes.


Kawan, apakah engkau masih menganut Sapto Darmo? Aku ingin bertanya secara empat mata sebenarnya, sebagaimana dulu saat terakhir kita bertemu engkau mengaku sudah bukan orang Islam lagi dan menganut Sapto Darmo, waktu itu engkau minta aku merahasiakannya karena tidak ingin ada konflik dengan saudara dan tetangga. Aku tentu saja tetap menjaga kesepakatan itu, bagaimanapun aku harus menghormati hakmu dalam hal beragama, walau dalam hati ada rasa getun dan selalu berdoa semoga pencapaianmu dalam beragama tidak sampai di situ saja.

Kawan, percayalah aku sering memikirkanmu, walaupun kita lama tak bertemu namun masih banyak saksinya bahwa engkau adalah teman pertama di kehidupan ini, kita sudah bersama sejak balita, bermain, berkelahi, memancing, belajar mengaji bersama, memulai sekolah bersama dan selama masa bertumbuh itu masih teringat engkau sering menyalahkan cara sholatku dan meremehkanku dalam banyak hal. Dan mungkin karena engkau sering meremehkanku maka saat engkau menerangkan alasan memilih Sapto Darmo walau bagiku alasan itu mudah dipatahkan namun waktu itu aku diam saja karena engkau tampak begitu yakin. Waktu itu aku hanya berdoa dalam hati semoga Allah mengaruniai engkau gairah keilmuan sehingga dapat mencapai kebenaran yang lebih baik.

Kawan, aku menulis surat ini tentu saja alasannya bukan sekedar kangen, aku menuliskan ini karena ada berita bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permintaan para “Penghayat Kepercayaan” yang salah satunya adalah Sapto Darmo boleh mengisi kolom agama di KTP dan KK dengan isian selain agama yang enam: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buda dan Konghucu. Sungguh selama ini aku membayangkan engkau  hidup dalam tekanan terus-menerus karena merahasiakan agama, apalagi beberapa tahun lalu di Dusun Sikancil (Desa Slatri Kecamatan Larangan) ada seorang penganut Sapto Darmo yang ketika meninggal dunia  ditolak mayatnya di pemakaman umum oleh warga.

Kawan, entah bagaimana reaksimu atas berita ini, walau dalam prakteknya nanti pasti tidak mudah apalagi Majelis Ulama Indonesia telah menolak putusan  MK itu, namun aku yakin pasti ada rasa senang di hatimu. Ketetapan MK ini pasti telah meningkatkan keyakinanmu, bahwa Sapto Darmo itu benar nyatanya pemerintah mengakuinya.

Kawan, sampai di sini aku jadi ingin bertemu muka denganmu, cuma aku tidak tahu harus bertanya alamat pada siapa, rumah orang tuamu pun sudah tidak ada bekasnya lagi, tetangga kita yang dulu mengaku sudah puluhan tahun tak pernah bertemu denganmu juga.  Aku ingin melihat gayamu kini mengekspresikan agama, dan rasanya aku ingin mencoba berdiskusi  denganmu soal agama karena pada akhirnya aku ingin tahu seyakin apa aku pada Islam-ku.

Di akhir surat ini, walaupun aku berucap selamat tapi di lubuk hati terdalam aku membayangkan dirimu sudah sholat lagi, adzan di musholla lagi, bahkan lebih dari itu menjadi ustad yang dihormati. Semoga Allah mempertemukan kita lagi, kawan.


Selamat malam, sekali lagi damai selalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PAHLAWAN NASIONAL DARI BREBES

Kembali Hari Pahlawan diperingati, suasananya adem-adem saja namun ada satu pertanyaan menggelitik: adakah seorang pahlawan nasional dari Brebes? Ada beberapa makam  pahlawan di Brebes, salah satunya yang pernah saya datangi saat ikut renungan malam waktu jaman sekolah ialah di Jatibarang (di desa Janegara), tapi nama pahlawannya sepertinya tidak ada. Karena kini penasaran saya coba cari informasi dan saya dapati nama Kiai Haji Syatori.

LOGO KABUPATEN BREBES

BREBES ULANG TAHUN